Bisa
jadi saya tidak pernah bercerita tantang bapak saya di blog ini. Bukan karena
tidak ingin, tapi saya takut terhanyut dalam kenangannya. Hari ini setelah 14
tahun kepulangannya saya ingin bercerita agak panjang. Semoga bisa menjadi
tulisan yang bisa saya publish dan tidak sekadar jadi draft yang batal saya
post karena tidak kuat menahan isak.
Saat
saya mulai remaja, kala itu saya masih jadi anak pintar. Tidak pernah
kehilangan juara umum sewaktu SMP, kakak saya yang pertama bertanya, apakah
saya ingin menjadi dokter? Saya bilang saya tidak mau.
Bapak
saya meninggal saat saya kelas 5 SD karena mengidap sakit liver yang cukup
parah selama kurang lebih 2 tahunan. Berkali-kali masuk rumah sakit padahal saat
itu bapak saya sedang dinas di luar kota dan satu minggu sekali bapak pulang.
Sewaktu bapak diopname, ibu saya dengan setia menunggui dan merawatnya. Saya
yang saat itu masih kecil ditinggal di rumah emak, nenek saya. Setiap 2 hari
sekali ibu pulang dan kembali lagi ke rumah sakit untuk menunggui bapak sampai
bapak diperbolehkan pulang dan membaik lalu bekerja lagi. Kakak saya yang
pertama, mas Heri bekerja di Tangerang. Sedangkan kakak saya yang kedua, mbak
Rina masih SMA dan ngekost di Kediri.
Dipikiran
saya, ketika bapak pulang dari rumah sakit berarti bapak sudah sehat. Bapak tidak akan sakit lagi. Begitu. Tetapi
tidak demikian, beberapa kali bapak saya kambuh saat sedang bekerja dan harus
kembali diopname. Karena sakitnya, bapak dilarang makan makanan pedas, entah
dari cabai ataupun lada. Pernah satu kali bapak sedang di rumah. Bapak memang
pulang setiap hari Sabtu dan berangkat lagi hari Senin pagi. Seorang tetangga
jualan gorengan keliling, bapak membeli bakwan sayur di hari Minggu itu. Senin
pagi bapak berangkat kerja lagi dan siangnya ibu mendapat kabar bahwa bapak
harus diopname lagi. Tak lain karena bakwan sayur yang dibeli bapak ada
ladanya. Saya sempat diajak ibu untuk menjenguk bapak, karena sangat rindu,
sebagai anak bungsu saya memang sangat dekat dengan bapak. Apalagi jarak antara
saya dan kedua kakak saya terpaut cukup jauh. 8 tahun dan 5 tahun.
Saya
masih ingat betul, perut bapak saya membuncit dan keras. Tapi tidak diikuti
dengan kenaikan berat badannya, bapak saya cenderung kurus, meskipun tidak
kurus kering. Secara kasat mata bapak saya tidak seperti orang sakit. Bicaranya
pun ringan dan renyah seperti biasa.
Beberapa
minggu yang lalu ibu saya bercerita tentang
hari-hari yang dilalui ibu saat bapak sakit dan akhirnya dipanggil Allah.
Ibu saya bercerita tentang opname bapak yang terakhir. Sebelum berpulang bapak
saya dirawat di sebuah rumah sakit di dekat rumah. Kebetulan pemilik rumah
sakit dan dokter yang menangani bapak adalah murid ibu sewaktu SD. Bapak saya
sempat dirawat di sana selama 7 hari. Satu hari dokter memanggil ibu saya,
dokter bilang bahwa bapak saya memang sudah parah.
Dokter menawarkan kepada ibu
saya untuk mengobatkan bapak kemanapun yang diinginkan ibu saya, dokter siap
mengantar dan menemani ibu saya. Dokter bilang sudah angkat tangan untuk
dirawat di rumah sakit ini karena kemungkinan bapak saya bisa sembuh tidak bisa
sampai 1%. Tentu bapak saya tidak tau pembicaraan tersebut. Akhirnya ibu
mengambil keputusan untuk memboyong bapak pulang saja. Dokter tersebut mengantarkan
sendiri bapak saya pulang dengan menggunakan mobil pribadinya tidak dengan
mobil rumah sakit. Keesokan harinya hari Jumat pagi tanggal 8 Juni tahun 2001
sekitar pukul 5 pagi Allah menghendaki bapak saya untuk kembali. Khh.. tentu
saja saat menceritakan ini ibu saya tidak bisa menahan isak tangisnya, meskipun
sudah 14 tahun berlalu…
Sejak
sepeninggal bapak saya, saya tidak pernah ingin menjadi tenaga medis, menjadi
pegawai rumah sakit, merawat dan menangani orang sakit. Tidak pernah ingin sama
sekali. Hanya takut. Takut menangis karena mengenang bapak saya. Takut jika
menumbangkan harapan keluarga pasien terhadap tenaga medis atas pasien itu.
Mungkin pikiran saya terlalu sempit. Tapi saya memang tidak ingin. Sampai saat
ini pun ketika saya ke rumah sakit, entah untuk keperluan yang sekadar
menjenguk teman sekalipun, selalu ada degub jantung yang berbeda di dada saya.
Mungkin saya trauma? Entahlah, tapi berjalan di lorong-lorong rumah sakit
selalu membawa saya untuk kilas balik ke masa kecil di mana bapak saya sedang
sakit.
*tulisan ini sudah hampir 2 tahun tersimpan sebagai draft, dan hari ini akhirnya saya putuskan untuk mempublishnya dengan segenap suka duka