Saturday 18 February 2017

berbicara tentang bapak...

Bisa jadi saya tidak pernah bercerita tantang bapak saya di blog ini. Bukan karena tidak ingin, tapi saya takut terhanyut dalam kenangannya. Hari ini setelah 14 tahun kepulangannya saya ingin bercerita agak panjang. Semoga bisa menjadi tulisan yang bisa saya publish dan tidak sekadar jadi draft yang batal saya post karena tidak kuat menahan isak.

Saat saya mulai remaja, kala itu saya masih jadi anak pintar. Tidak pernah kehilangan juara umum sewaktu SMP, kakak saya yang pertama bertanya, apakah saya ingin menjadi dokter? Saya bilang saya tidak mau.

Bapak saya meninggal saat saya kelas 5 SD karena mengidap sakit liver yang cukup parah selama kurang lebih 2 tahunan. Berkali-kali masuk rumah sakit padahal saat itu bapak saya sedang dinas di luar kota dan satu minggu sekali bapak pulang. Sewaktu bapak diopname, ibu saya dengan setia menunggui dan merawatnya. Saya yang saat itu masih kecil ditinggal di rumah emak, nenek saya. Setiap 2 hari sekali ibu pulang dan kembali lagi ke rumah sakit untuk menunggui bapak sampai bapak diperbolehkan pulang dan membaik lalu bekerja lagi. Kakak saya yang pertama, mas Heri bekerja di Tangerang. Sedangkan kakak saya yang kedua, mbak Rina masih SMA dan ngekost di Kediri.

Dipikiran saya, ketika bapak pulang dari rumah sakit berarti bapak sudah sehat.  Bapak tidak akan sakit lagi. Begitu. Tetapi tidak demikian, beberapa kali bapak saya kambuh saat sedang bekerja dan harus kembali diopname. Karena sakitnya, bapak dilarang makan makanan pedas, entah dari cabai ataupun lada. Pernah satu kali bapak sedang di rumah. Bapak memang pulang setiap hari Sabtu dan berangkat lagi hari Senin pagi. Seorang tetangga jualan gorengan keliling, bapak membeli bakwan sayur di hari Minggu itu. Senin pagi bapak berangkat kerja lagi dan siangnya ibu mendapat kabar bahwa bapak harus diopname lagi. Tak lain karena bakwan sayur yang dibeli bapak ada ladanya. Saya sempat diajak ibu untuk menjenguk bapak, karena sangat rindu, sebagai anak bungsu saya memang sangat dekat dengan bapak. Apalagi jarak antara saya dan kedua kakak saya terpaut cukup jauh. 8 tahun dan 5 tahun.

Saya masih ingat betul, perut bapak saya membuncit dan keras. Tapi tidak diikuti dengan kenaikan berat badannya, bapak saya cenderung kurus, meskipun tidak kurus kering. Secara kasat mata bapak saya tidak seperti orang sakit. Bicaranya pun ringan dan renyah seperti biasa.

Beberapa minggu yang lalu ibu saya bercerita tentang  hari-hari yang dilalui ibu saat bapak sakit dan akhirnya dipanggil Allah. Ibu saya bercerita tentang opname bapak yang terakhir. Sebelum berpulang bapak saya dirawat di sebuah rumah sakit di dekat rumah. Kebetulan pemilik rumah sakit dan dokter yang menangani bapak adalah murid ibu sewaktu SD. Bapak saya sempat dirawat di sana selama 7 hari. Satu hari dokter memanggil ibu saya, dokter bilang bahwa bapak saya memang sudah parah.

Dokter menawarkan kepada ibu saya untuk mengobatkan bapak kemanapun yang diinginkan ibu saya, dokter siap mengantar dan menemani ibu saya. Dokter bilang sudah angkat tangan untuk dirawat di rumah sakit ini karena kemungkinan bapak saya bisa sembuh tidak bisa sampai 1%. Tentu bapak saya tidak tau pembicaraan tersebut. Akhirnya ibu mengambil keputusan untuk memboyong bapak pulang saja. Dokter tersebut mengantarkan sendiri bapak saya pulang dengan menggunakan mobil pribadinya tidak dengan mobil rumah sakit. Keesokan harinya hari Jumat pagi tanggal 8 Juni tahun 2001 sekitar pukul 5 pagi Allah menghendaki bapak saya untuk kembali. Khh.. tentu saja saat menceritakan ini ibu saya tidak bisa menahan isak tangisnya, meskipun sudah 14 tahun berlalu…

Sejak sepeninggal bapak saya, saya tidak pernah ingin menjadi tenaga medis, menjadi pegawai rumah sakit, merawat dan menangani orang sakit. Tidak pernah ingin sama sekali. Hanya takut. Takut menangis karena mengenang bapak saya. Takut jika menumbangkan harapan keluarga pasien terhadap tenaga medis atas pasien itu. Mungkin pikiran saya terlalu sempit. Tapi saya memang tidak ingin. Sampai saat ini pun ketika saya ke rumah sakit, entah untuk keperluan yang sekadar menjenguk teman sekalipun, selalu ada degub jantung yang berbeda di dada saya. Mungkin saya trauma? Entahlah, tapi berjalan di lorong-lorong rumah sakit selalu membawa saya untuk kilas balik ke masa kecil di mana bapak saya sedang sakit.


*tulisan ini sudah hampir 2 tahun tersimpan sebagai draft, dan hari ini akhirnya saya putuskan untuk mempublishnya dengan segenap suka duka

Tuesday 14 February 2017

26 tahun

*sebelumnya saya kasih desclaimer dulu, tulisan ini aslinya saya bikin di tanggal 7 November 2015 dan ngendon selama setahun lebih di draft saya, hari ini akhirnya setelah mengalahkan kesibukan yang sangat padat akhirnya saya publish juga :D 

Hai, setahun cepat sekali berlalu ya. Tiba-tiba saja saya sudah ulang tahun lagi. Semakin menua, ehehe. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada perayaan spesial. Ya biasa saja. 7 November tahun ini jatuh pada hari Sabtu, dan ga ngerti kenapa saya suka aja kalo ada tanggal penting dan pas banget harinya hari Sabtu. J

Suami saya yang belakangan sering begadang untuk mengurus pekerjaan online-nya pas tengah malem ngucapin selamat ulang tahun. Lah tumben. Jaman belum nikah dulu pernah karena saking sibuknya (atau mungkin lupa) si bapak ngucapinnya malah jam 5 sore, hahaha. Saat itu saya ya biasa saja, ga kecewa atau gimana karena tanggal 7 November kan ga cuma jam 12 malem. Justru seingat saya selama 8 tahun mengenalnya, baru 2 kali suami saya mengucapkan selamat ulang tahun tepat jam 12 malam.

Saya memang tidak pernah secara special merayakan hari-hari penting di hidup saya. Bagi saya cukup dengan mengingat moment special di tanggal penting itu jauh lebih berarti, hihi. Pun demikian dengan suami saya lho ternyata. Itulah mengapa saya merasa sangat cocok dengannya, hahaha. Oya, saya pernah sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu secara tumben-tumbenan memberikan kado ulang tahun untuknya. Sendal jepit merk Swallow yang sedikit kekecilan karena ukuran kaki suami saya yang aduhai sekali panjangnya. Bukan tanpa alasan saya memberinya kado itu. Saat itu kami belum menikah dan masih berhubungan jarak jauh pun jarang bertemu. Kebetulan pas tanggal ulang tahunnya jadwal kami sedikit longgar dan memungkinkan untuknya datang ke Malang. Perjalanan panjang Malang-Jakarta membuat sandalnya putus, ya padahal cumin duduk aja juga di kereta. :p Jadilah saya membeli sandal jepit sekalian sebagai kado, kekeke.. :p (maafkan kekacauan saya)

Tidak ada perayaan, tidak ada kado, saya pun tidak masak makanan menu khusus. Setiap detik berlalu seperti biasa saja. Seperti hari-hari sebelumnya. Gerah yang tak tertahankan karena musim kemarau yang terlalu panjang dan hujan yang tak kunjung datang. Bahkan sempat penunjuk cuaca di hape saya menunjukkan bahwa suhu di sini mencapai 34oC padahal biasanya ya sekitar 24oC. Semacam di kota asal suami saya, Jakarta. Sinar matahari datang tepat pada waktunya dan memanggang bumi sampai sekitar jam 2 siang lalu datang mendung tebal bergelayut di langit tapi tak juga berakhir dengan titik-titik hujan. Terus menerus seperti itu macam siklus rutin selama beberapa hari. Walhasil malamnya kipas angin terus berputar minimal sampai jam 2 pagi. Ya karena saking gerahnya dunia. Dan dalam hati saya pun memang meridukannya, hujan..

Hari ini saya hanya tidak ingin ngapa-ngapain, kebetulan semua jadwal les libur di hari Sabtu dan Minggu. Saya ingin sejenak rehat dari rutinitas yang padat dan mendinginkan kepala karena rasanya sudah sangat panas dan ngebul otak saya ini. Ngajar les aja capek bu? Ehehe. Emang iya kok, kadang kita butuh istirahat juga kan? Butuh liburan, tapi minggu ini saya tidak ada rencana untuk kemana-mana. Cukup di rumah saja.

Jam setengah 12 siang eh kok gluduk-gluduk dari langit dan aaaaakkkk HUJAAAAAAN!! Senengnya sungguhlah saya. Kebetulan Hyu belum tidur siang, dianya malah heboh lari dari ruang tamu ke belakang terus bolak balik dan tiba-tiba hilang. Saya panggil berulang, dia tidak menyahut juga, lah ternyata dia duduk di samping rumah, di dekat garasi, di atas kursi rotan peninggalan bapak saya. Di sana memang hujan bisa dilihat dengan jelas. Hyu menyukai hujan seperti saya dan suami. Dia sampai ga mau beranjak dari kursi itu. Lah kan capek juga ngliatin hujan mulu..

Tuhan memang selalu maha baik. Hujan, kado yang sungguh membahagiakan di ulang tahun ke-26 saya.


Alhamdulillahirobbilalamiin..